Saturday, December 29, 2007

lempari jamaratmu

baru saja berlalu dari hari itu
baru saja lantunan takbir itu menggema
momen idul adha yang revolusioner
momen peran-peran simbolik dari penghulu manusia radikal
baru saja berlalu jejak kafilah itu
kafilah yang dipayungi barakat langit
ibrahim yang istiqomah
ibrahim khalil Allah
hajar yang tulus
tetangga sang pemilik baitullah
ismail yang taat
ismail yang diliputi cinta
lihatlah...
tapak-tapak perjuangan itu
tawaf, sa'i, wukuf, melontar jamarat...
skena agung nan suci
lakon haji nan revolusioner
aku tertegun kala menyimaknya dari Ali Syari'ati
tentang stasiun ma'rifat arafah
tentang etape kesadaran
tentang mi'raj cinta, komitmen konfrontasi dan pergolakan mina
tentang altruisme penyembelihan kurban
haji akbar ...
ibadah yang sarat nilai radikal

hidup ini memang sering bergolak
diri bertumbuk dengan bergunung kejahilan
pertarungan memang tak pernah berhenti
itulah kenyataan kemarin
itulah problem hari ini
besok tak sunyi pula

ibarat pendaki
kesulitan adalah pendakian itu sendiri
tanpanya berarti hanya dongeng spiderman
terperosok, terkilir, itu biasa
terjatuh bahkan biasa pula
namun apakah harus berhenti..?


*kupersembahkan buat seseorang yang kini hiperbolik jalan hidupnya

Friday, December 28, 2007

adil

aku gelisah karena diriku meliar
diriku buas
mengaung bak macan kelaparan
aku terperanjat dalam belukar duri
terasingkan di pedalaman yang sunyi
alam senyap
kanopi rimba melengang
terbelenggu...

jiwaku tertawan
diriku terbelah
aku mulai bingung
pilihan menyentak
aku tertegun dalam renung
aku membisu
batinku bergetar
menanti putusan itu
aku terbelit
sumsumku menderit
seakan remuk akan keliaran diri

aku harus memilih
aku harus memvonis
sebelum telat menggelonsor kebingungan
pilihan yang mudah tuk dipikir
namun entah wujudnya dalam laku bak sihir
aku harus mengadili
karena aku belum adil atas diriku sendiri
akan kuteriaki tuk menghentak kedunguan
kuenyahkan macan itu...
namun terjaminkah itu
untuk sekedar adil bagi diriku..?

Wednesday, May 23, 2007

Mimpi

malam-malam, sama dalam rutinitas
tubuh kurus tinggi membujur tak berdaya
merebah dalam gelap di persemadian mimpi
lipatan kulit menindih kasur pemberian sahabat
terbenam dalam hening
lenyap dalam senyap
hanya satu dua nafas tersengal serak
dunia gelap berdimensi entah
alam misteri tanpa simetri
tanpa batas kaku
tiada ruang tiada waktu
tak ada rumus geometri
fluida misteri

Harap

Tuhan
aku gagal
aku sadar, aku lupa
aku tahu, aku naif
aku berdosa

Tuhan
aku terlempar jauh
aku terhuyung mabuk
aku terbenam dalam comberan luka
aku penuh noda
darahku menguning
jidatku bercerai dengan bumi
punggungku tak melipat
lama
ruku' dan sujud entah kapan
dulu
aku hancur
ngarai hatiku gersang
kantong gandum terisi batu
lihat
baju putih kecipratan noda
hatiku nyaris sekarat
meniris sendu di luka beku

Tuhan
harapku
hatiku tak berlempung lumpur

narsis

aku mendapatkan diri ini banyak dipuji
sahabat dekatku kini
bibirnya memagut cuapan puji
menyentak sekepul ketaksadaran rampai indah yang kumiliki
ia puji aku cantik
ia bilang lapik mata ini indah
ia akui lekuk tubuhku seksi
ia kagumi pualam leherku
ternyata bibir mungil pas dengan paras lembutku
sahabatku bertambah satu-satu
sahabat cermin yang paling setia
di dinding kamar,
di sisip dompet,
di tentengan tas,
di spion mobil
di pintu kantor
di keteduhan air
di mana-mana
aku dibilang cantik
aku yakin itu
tapi...
tapi aku tidak puas
kecantikanku ikut terhuyung
turut tarian semesta dalam gerak
karena hidup niscaya gerak
dan gerak niscaya berubah
kecantikan menjadi kisah klasik kaum hawa
semata, selalu, selamanya
laksana pohon yang menumbuh dari benih
mengakar lalu mengekar merobek petala langit
meninju kepulan awan dalam gerak
kecantikan jadi kisah menambat
epos cantik mula menambat kisah
kala senja memudarkan warna
epos cantik susul mengulang tarian warna yang sama
cantik bertukar kerut
berguling layu
lembayung warna indah mejadi kisahku
kini dan sore

kabut diri

ibarat perahu
aku mengayuh tak tentu
kemudi dengan benak kacau
kayu perahu kulobangi
bocor
sumbat
kayuh
bocor
sumbat
hingga laut tak berpulau

ibarat arca
aku memahat,
mengoles
menghaluskan
tampak rupa estetis
sampai kesal dan lupa membisik
kala pitam menjerat kalbu
kala awan tak lagi putih
saat sungai enggan memercikkan senyum dahaga
saat pucuk-pucuk eucalyptus enggan mendesau
rupa indah jadi kepingan batu
hancur
bongkar
pecah
arca tak jadi

Tuesday, May 22, 2007

hela nafas

Sunday, May 20, 2007

bakul rasa




Siapapun bisa merasakannya. Entah sebagai penerus jejak feminitas nenek Hawa maupun pemeran jejak-jejak turunan Nabi Adam alaihissalam di muka bumi yang hampir sekarat ini. Karena ia adalah entitas potensial di setiap pemilik wadah rasa ini. Ia adalah rasa cinta. Rasa cinta lebih pas ditiup menguap dan menghabluri kedirian kita dengan pengungkapan yang unik bagi dirinya. Karena mekanisme verbal tak begitu canggih.

Ia bak gemuruh yang berpusar dalam ruang sempit. Menghendaki sebuah cipratan yang mengaktual tak sekedar prosesi hening semadi yang mengaratkan diri. Ia bergerak dalam ritme yang beriringan dengan imaji eksternal kita. Imaji yang berkelebat menenun selaksa harap dan cita. Karena ia tak tega membiarkan takdir eksistensialnya membusuk dalam ketiadaan rasa. Ia adalah capung dengan sepasang sayap mungilnya memerankan poter geliat progresif dari keberadaan diri yangt mengerlingkan sensasi alamiahnya terhadap pesona-pesona ekologis di sekitar derasan air sungai. Sebuah pertunjukan hasrat untuk keberlanjutan eksistensinya. Liukan segmen tubuhnya bercengkerama dengan ademnya uap sungai nun jernih. Berselancar dalam tarian kesuburan alam semesta.

Rasa adalah pohon misteri. Ia memiliki cabang dan sulur-sulur yang senantiasa menumbuh. Akan semakin banyak, bertambah dan melanjutkan rambahannya menusuk pori langit. Intensionalitasnya dengan entitas rasa di luar dirinya menambahkan asupan nuitrisi intuitif. Ia akan merimbun dalam pesona jiwa yang kaya. Menjadi sesuatu yang terasa 'aneh'.

Rasa cinta kan selalu meresonansi dari dawai-dawai intuisi. Rasa cinta terpilin dalam bakul keindahan. Ia menginginkan gerak. Bak laron yang merindu seringai mentari, bangkit menelusuri lekuk bebatuan dari kolong bumi dengan tekad dan kerinduan. Ia menuju limit 'indah'. Begitupun rasa cinta kita. Tatkala sekelebat makhluk yang memiliki pasang mata menarik dan rambut menjuntai dalam kelebaman yang mewangi di hadapan mata Adam kita menyapa dengan isyarat-isyarat keindahannya, kita akan terhuyung dalam sebuah ekstase cinta, menikmati jamuan sayang dan kenduri rindu, meski hanya dalam ekspresi masokisme cinta.


Saturday, May 19, 2007

malaikat bumi

matanya menyorot tegas, menombak keliaran hati yang menatap penuh banal
ada jiwa yang menegap dari sana
lapik mata berwibawa berwarna standar hitam putih bersih
keperbawaan menyetubuhi semburat wajah nun ayu
wajah mendecakkan keterpesonaan
dari keteduhan sinar wajah keibuan di balik lembaran hijab perisai diri
sholehah
tak ada aurat menari nari
tak ada kisah lekuk tubuh
tak ada cerita erotis
semuanya terkulum kewibawaan moral
semuanya terbelenggu tradisi kesucian
gemulai badannya terjaga
kepribadian yang berjiwa
kehadirannya bak salju meniris hati
embun meneteskan kesejukan
aku hanya terpesona...
lajur hatiku bergetar
emburat lembut pribadinya merembangkan kecantikan sejati
aku hanya bisa menyapa dalam gayutan sunyi

cawan rasa

rasa mengawet di lubuk hati
ia tersimpan dalam benteng manusia yang paling kokoh
rasa cinta yang fitrah
rasa sayang yang lumrah
rasa benci yang wajar
rasa cemburu yang pantas
rasa duka yang normal
semburat rasa dari pendaman segara insani yang kaya rasa
rasa adalah mahkota hati
rasa menghablur rindu
memilin sendu
rasa merajut bakul cinta
mengukir asa yang berlembayung indah
rasa adalah misteri yang meruap dari kaldera hati


RENUNGAN

kenduri kematian


tubuh menumbuh, mati membusuk
roh menjiwa, sekarat berpamit
cantik di kulit, kan sirna pasti
tampan tentengan kulit semata
menua, melebam, mengeriput,
layu