Wednesday, August 13, 2008

Fasisme Topeng

Aku bertanya pada seorang kawan
tentang hakikat Tuhan pada wujud-wujud hamba yang serba jamak

di manakah adil itu terpahat dalam pigura ilahi di kanvas pergolakan insani
ketika semangat kultur rasisme mengendap di permukaan topeng modernitas

di manakah cawan keadilan itu jika cairan pluralitas itu terpaksa didisiplinkan
melalui terali monisme kultural yang menyerempet lewat kanal erotisme simulasi dan sihir representasi dari kotak televisi

aku heran melihat kenyataan yang serba seragam
sebuah paradoks sedang dipajang dari dapur-dapur identitas yang fobia keunikan

aku heran, aku ngeri
entah apa yang akan tercerapi nanti oleh bocah-bocah negeri ini yang lahir di tengah kaplingan fasisme budaya di negeri ini

Agustus

Agustus yang menjadi siklus keramat
bagi ultah negara kita yang sudah 63
Indonesia Raya menggelegar
burung garuda mengangkasa
naskah proklamasi menggaung di palung persada
simbol-simbol negara bersiaga,
meriam-meriam berdentuman
lalu semua digiring ke dalam liturgi nasional
untuk mereproduksi sebuah simulakrum
tentang merah putih yang gagah berani
tentang doktrin NKRI Sabang-Merauke
tentang mitos-mitos rakyat merdeka dan semesta berjuang
bahwa kemerdekaan dan kesejahteraan itu hanyalah dongeng dari negeri khayali
yang rakyat pribumi miskin tak sanggup mencerapinya lantaran keharusan menanggalkan kewarasan jiwa
bahwa kemakmuran hanyalah untuk korporat tambang, korporat non tambang dan semua setan korporat dunia
Agustus kali ini
masihkah penguasa negeri ini bermimpi?

Sekolahku Sayang

Teringat masa sekolah
waktu SD seragamku putih merah
kami diajarkan menyeragam
walau di kampungku tak ada sawah
namun belajar mengkhayal sawah
padahal kampungku bumi sagu, bumi cengkeh dan pala
tapi pikiran ditawan ke pulau Jawa

teringat masa remaja
punya seragam putih biru di bangku SMP
kami sekolah lalu kami teralienasi dari kehidupan nyata
belajar teori menusuk langit
apa daya tak kenal birunya laut dan wangi pasir putih Tanjung Papela
anak adat mau jadi Beyonce dan Bruce Willis
sio kasiangee...

teringat masa-masa di SMA
seragam putih abu-abu di tengah negeri yang tersulut api angkara
dunia mudaku kelabu, hanyut dalam pusaran darah dan air mata
pelajaran sekolah amburadul, duniaku kelabu
yang tersisa cuma keyakinan dan pikiran yang diteror cemas dan waspada
sebab pelajaran sekolah bermetamorfosis menjadi pelajaran perang
karena sekolahku karam di telaga skenario besar JAKARTA

Kabar Jalanan

Bagaimana mungkin engkau mengerti arti lapar bagi kaum miskin?
kalau perutmu kau sumpali sampai sesak dengan yang enak-enak setiap saat
lapar adalah derita yang menyata, lebih dekat dari gosip-gosip sampah selebriti
ia adalah kabar buruk setiap hari yang akan mengunjungi pintu istana angkuh dengan perlawanan
lapar adalah denyut pahit seisi gubuk kaum papa yang termarjinalkan di ketiak agenda-agenda korporatokrasi
ia adalah tangis perut yang terbungkam, saksi hidup bagi tirani penjagal rakyat
walau kabar yang datang dibuat sekedar himpunan kata tentang imaji lapar

Bagaimana mungkin engkau pahami orang miskin?
jikalau dentuman deritanya engkau sulap menjadi barang jualan di pasar PILKADA
tangis yang menderu pilu telah kau hardik dengan sepatu lars algojo pamong praja
anak-anak jalanan dan pengemis kau musuhi dengan PERDA,
lalu engkau sulapi ladang hidupnya menjadi pohon-pohon beton yang menjulang angkuh di kota ini

Bagaimana mungkin negeri ini akan merdeka tuntas?
kalau pabrik-pabrik, tambang-tambang, hutan rimba dan harta ibu pertiwi tak henti dirampok
kemakmuran hanyalah angan-angan di taman Aden
keadilan tinggal menjadi jargon partai politik penjual umat penggadai bangsa pelupa sejarah

Kini...
Indonesia nyata bukanlah Indonesia seperti cerita indah masa SD

Pusaka Jiwa

Sungguh ...
rasa itulah embun jiwa
wangi melati dari tamasya eksistensial
meruap dari celah usang geometri pikir

akal hanyalah layang-layang
yang hanya bisa meliuk tinggi
menyapa paras langit
lalu puas disapu terik dikulum angin

hati adalah palung cinta
dari samudra hakikat
jangan tanyakan bagaimana dalamnya
sebab lubuknya tersimpan misteri

di tempat paling dalam ada cinta bertahta
bagai mutiara yang berkilauan
cinta adalah pusaka jiwa
bagi hati yang tertawan

Bapak

bapakku...
malam ini aku mendengar nasihatmu
kata-katamu bagai embun dari percik mata air kautsar
dahaga batinku pulih

bapakku...
malam ini engkau membisikkan ketenangan
suaramu adalah guruh di kawah pertapa
sepi dan pesimis mengikis dari sini

bapakku...
malam ini engkau meneleponku
menyegarkan penat jiwaku yang beku
engkau telah mengingatkan daku
anakmu untuk bersabar