Wednesday, May 23, 2007

Mimpi

malam-malam, sama dalam rutinitas
tubuh kurus tinggi membujur tak berdaya
merebah dalam gelap di persemadian mimpi
lipatan kulit menindih kasur pemberian sahabat
terbenam dalam hening
lenyap dalam senyap
hanya satu dua nafas tersengal serak
dunia gelap berdimensi entah
alam misteri tanpa simetri
tanpa batas kaku
tiada ruang tiada waktu
tak ada rumus geometri
fluida misteri

Harap

Tuhan
aku gagal
aku sadar, aku lupa
aku tahu, aku naif
aku berdosa

Tuhan
aku terlempar jauh
aku terhuyung mabuk
aku terbenam dalam comberan luka
aku penuh noda
darahku menguning
jidatku bercerai dengan bumi
punggungku tak melipat
lama
ruku' dan sujud entah kapan
dulu
aku hancur
ngarai hatiku gersang
kantong gandum terisi batu
lihat
baju putih kecipratan noda
hatiku nyaris sekarat
meniris sendu di luka beku

Tuhan
harapku
hatiku tak berlempung lumpur

narsis

aku mendapatkan diri ini banyak dipuji
sahabat dekatku kini
bibirnya memagut cuapan puji
menyentak sekepul ketaksadaran rampai indah yang kumiliki
ia puji aku cantik
ia bilang lapik mata ini indah
ia akui lekuk tubuhku seksi
ia kagumi pualam leherku
ternyata bibir mungil pas dengan paras lembutku
sahabatku bertambah satu-satu
sahabat cermin yang paling setia
di dinding kamar,
di sisip dompet,
di tentengan tas,
di spion mobil
di pintu kantor
di keteduhan air
di mana-mana
aku dibilang cantik
aku yakin itu
tapi...
tapi aku tidak puas
kecantikanku ikut terhuyung
turut tarian semesta dalam gerak
karena hidup niscaya gerak
dan gerak niscaya berubah
kecantikan menjadi kisah klasik kaum hawa
semata, selalu, selamanya
laksana pohon yang menumbuh dari benih
mengakar lalu mengekar merobek petala langit
meninju kepulan awan dalam gerak
kecantikan jadi kisah menambat
epos cantik mula menambat kisah
kala senja memudarkan warna
epos cantik susul mengulang tarian warna yang sama
cantik bertukar kerut
berguling layu
lembayung warna indah mejadi kisahku
kini dan sore

kabut diri

ibarat perahu
aku mengayuh tak tentu
kemudi dengan benak kacau
kayu perahu kulobangi
bocor
sumbat
kayuh
bocor
sumbat
hingga laut tak berpulau

ibarat arca
aku memahat,
mengoles
menghaluskan
tampak rupa estetis
sampai kesal dan lupa membisik
kala pitam menjerat kalbu
kala awan tak lagi putih
saat sungai enggan memercikkan senyum dahaga
saat pucuk-pucuk eucalyptus enggan mendesau
rupa indah jadi kepingan batu
hancur
bongkar
pecah
arca tak jadi