Wednesday, December 24, 2008

dia

awalnya tak sengaja kujumpai dia
perkenalan yang biasa saja
tak ada rintik hujan, tak ada kembang melati
panas mentari tetap biasa, kucing mengeong pun biasa
lalu roda waktu berputar, aku berhembalang tanpa arah pasti
tak ada oase tempat aku menambatkan penat
pencarian yang nyaris tanpa arti
pasrah kuturuni lembah suram
di punggungku kengerian batu cadas
bekal hanyalah pucuk-pucuk angsana
mungkinkah itu? sangat mungkin karena
ini hanyalah dongeng biasa yang kadang
menjadi basi, selalu diulang, mau lagi diputar ulang
dongeng dari imaji para pencari
kutemui dia di tengah gunungan sampah,
di ngarai angker, di keramaian pasar, di sekolah-sekolah biksu
dia yang tak mau disebut namanya karena menabukan sombol-simbol
peri yang tak bertongkat, biksu yang melukis parodi di kanvas kuning
imam yang mengangkat megafon di jalanan menombaki tiran dengan ayat suci
lalu aku hanyalah pencari yang selalu mengembara
sahara di tanduk hitam kugoresi, lalu ingin kusapa murid Dalai Lama yang teguh bersemedi di ketiak himalaya dan Aung San Suu Kyi di rumah sekap...
dia yang menjadi metafora tak pernah lekang dalam rinai jiwaku

puyenk

dia yang baru aku kenal
tingginya semampai
bodinya aduhai
matanya indah
menawanku dalam pekatnya kabut pagi
pikiran warasku terjerat
jiwa terpilin benang-benang putih
merajut dalam hening
mengepakkan sayap menusuk atap mimpi
dalam mabuk indah para darwis
menggumam syatahaat dari lengkingan burung attar
terbang meninggi berarak kepulan nujum
telah beribu doa kupanahkan ke langit
demi memagut bibir indah itu
demi kupetik kuncup yang baru mekar
aku mengenal dia di kampus hijau
wajah indah merembang pesona
tapi haruskah aku menjadi maniak tubuh?
penikmat rona pipi tembam, wajah imut dan manis itu?
o' begitukah rasanya menjadi lelaki
yang mengokang tegaknya jati diri dengan nalar kelamin?
hu... hu... huu...